Ujian Nasional sebagai
Harga Mati Penentu Kelulusan, Siapa yang Bertanggung Jawab?
Ujian
Nasional (UN) menjadi momok yang menakutkan bagi para siswa tingkat 3 ataupun
siswa tingkat akhir. Ujian nasional telah menjadi harga mati dan tidak bisa
dinegoisasi untuk menentukan kelulusan mereka. Perjuangan 3 tahun kandas dalam
3 hari. Masa sekolah yang dilalui, seakan tidak ada artinya. Tak jarang
rentetan kasus pun banyak yang muncul pasca pengumuman kelulusan UN. Mulai dari
kasus bunuh diri, kasus anak putus sekolah, depresi, pengangguran dan kasus
kejahatan lainnya. Bercermin dari kejadian yang telah terjadi, hendaknya para
petinggi di dinas pendidikan perlu mempertimbangkan dan meninjau kembali
pelaksanaan ujian nasional.
Ujian
Nasional seharusnya tidak menjadi satu-satunya keputusan untuk ‘memvonis’ siswa.
Guru dan pihak sekolah pun lepas tangan terhadap hasil dari ujian nasional.
Terlebih lagi sungguh tidak adil jika ujian nasional menjadi penentu kelulusan
siswa SMK, khususnya SMK teknik. Program kejuruan yang telah dilakukan selama 3
tahun seakan tidak artinya dan ‘tidak dianggap’ oleh menteri pendidikan. Padahal
siswa SMK juga mempunyai hak yang sama dengan siswa SMA lain. Ujian nasional
juga dijadikan standar untuk menentukan kemampuan otak seseorang. Sungguh tidak
masuk akal, siswa yang selalu juara dikelas, juara LKS (Lomba Keterampilan
Siswa) tingkat nasional, dan siswa yang memiliki segudang prestasi diluar
kemampuan akademik menjadi korban dari ketidakadilan UN. Sedangkan siswa yang bandel
dan prestasi akademiknya jauh dibawah rata-rata bahkan tidak memiliki prestasi
lainnya diluar prestasi akademik malah lulus UN dengan nilai bagus. Memang
faktor keberuntungan sangat menentukan dalam hal ini. Tapi apakah kita harus
bergantung terus pada takdir dan faktor keberuntungan tersebut?.
Sayangnya
sampai sekarang UN tetap menjadi standar untuk menentukan kelulusan siswa. Bahkan
keputusan MA tidak diindahkan. Menurut MA UN merupakan penindasan dan kelalaian
terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Namun pihak dari Departemen Pendidikan
Nasional (Depdiknas) berdalih bahwa MA belum memberikan salinan terkait kasasi tentang UN kepada pihak mereka (Kompas,
3 Desember 2009). Menurut mereka keputusan MA masih lemah dan tidak berisi
tentang larangan pelaksanaan UN. Lanjut mereka, dalam keputusan MA hanya berisi
tentang pihak yang tergugat wajib :
1.
Meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses
informasi yang lengkap sebelum mengeluarkan kebijakan UN lebih lanjut,
2.
Pihak tergugat
diharuskan membuat suatu alternatif untuk mengatasi siswa yang gagal UN atau
siswa yang menjadi korban UN agar tidak mengalami gangguan psikologis,
3.
MA hanya memerintahkan kepada pihak tergugat untuk meninjau
kembali pelaksanaan sistem pendidikan nasional.
Berdasarkan
dari pengalaman pelaksanaan UN sebelumnya dengan mempertimbangkan keputusan
mahkamah agung terhadap UN, maka diperlukan alternatif untuk mengganti UN
sebagai penentu kelulusan sekolah siswa tingkat akhir menjadi penentu hal-hal berikut dengan tujuan
agar pelaksaan UN tersebut tidak merugikan siswa dan menghindari praktik
kecurangan dalam pelaksanaannya :
1.
UN jangan dijadikan sebagai standar mutlak untuk menentukan masa depan
siswa.
2.
UN dijadikan alat untuk menjadi cermin mutu pendidikan secara nasional, sehingga bisa diketahui sekolah mana yang sudah memenuhi standar
mutu dan yang belum.
3.
Kebijakan mengenai kelulusan siswa hendaknya diberikan kepada masing-masing
sekolah sesuai dengan kemampuan dan potensi masing-masing sekolah (khususnya
sekolah didaerah terpencil).
4.
Penilaian ujian hendaknya didasarkan pada kemampuan siswa dalam mencapai
kompetensi yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah.
5.
Ujian Nasional dijadikan standar untuk memperoleh beasiswa.
6.
UN sebaiknya dijadikan ajang untuk meningkatkan prestasi siswa, seperti
lomba kecerdasan siswa, dan untuk mengasah kemampuan siswa.
7.
Menindak tegas pihak-pihak yang menyalahkan wewenang dan melakukan praktik
kecurangan dalam pelaksanaan ujian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar